“Ku ambil buluh sebatang..
Ku potong sama panjang..
Ku raut dan ku timbang dengan
benang..
Ku jadikan layang-layang..”
Sayup-sayup
terdengar lantunan lagu masa kecilku, bahkan masa kecil indah kita semua. Juga,
saat ini sedang dilantunkan seorang anak kecil berumur delapan tahun. Akulah
anak kecil itu.
“Astiii…..
Sudah malam!!, ayo tidur..”, pinta Ibu padaku.
“duuhhhh,
Ibuu. Tanggung niih, besok kan ada perlombaan layang-layang di lapangan Balai
Desa, Asti gak mau ketinggalan, bu.”
Besok
siang, tepatnya hari minggu, tanggal 20 Juli 1992 diadakan perlombaan
layang-layang, dan aku bersemangat sekali mengikutinya.
“Tapi,
kamu harus bangun pagi. Kita akan bantu Ayah besok, karena orang-orang pasti
mebeli banyak layang-layang . Dan itu memberi banyak keuntungan untuk kita.
Untuk kamu juga tentunya.”
Akhirnya,
Aku pun menuruti permintaan Ibu. Aku menyimpan layang-layang ku. Layang-layang
itu masih polos seperti bayi baru dilahirkan. Belum dihias dan dipasang ekor.
Aku berniat menyelesaikannya esok hari. Ya! Besok aku harus bangun pagi-pagi.
Jangan sampai aku jadi bahan ejekan Tono, Ayu, Ratna dan Galih karena aku tidak
mengikuti perlombaan itu. Aku harus membuktikkan, bahwa anak seorang penjual
dan pembuat layang-layang juga berprestasi. Perlombaan ini adalah investasi
masa depanku. Hhahhahha… aku baru mendapatkan kata-kata ‘investasi’ tadi pagi.
Dari ucapan Ibu Dewi, Guru Bahasa Indonesia di kelasku.
Pokoknya
perlomban besok aku harus menaaangggg !!!!
S
E M A N G A T !!!!!....
***
Keesokan
harinya, saat suara azan subuh menggema.
“Allohuakbar..Allohuakbar..
Laa ilaaha illalloh..”
Sayup-sayup terdengar
lagi nyanyian yang kemarin.
“Ku ambil buluh sebatang..
Ku potong sama panjang..
Ku raut dan ku timbang dengan benang..
Ku jadikan layang-layang..”
Secara refleks aku
tutup mulutku dengan telapak tangan.
“ups..
kalau aku berisik, nanti Ayah dan Ibu bangun. Oke, layang-layang berseni
ciptaanku ini harus selesai sebelum matahari muncul.”
Lagi,
lagi dan lagi.. lagu itu mengalun tanpa diminta. Tapi kali ini dengan volume
yang lima kali lebih kecil dari sebelumnya. Yang lebih terdengar seperti orang
menggumam, bukan orang bernyanyi.
Setelah
satu setengah jam berlalu (yang sempat terputus untuk solat dan minum teh
hangat) layang-layangku selesai.
“S
E L E S A I..” teriakku. Namun teriakkan yang cukup untuk diri sendiri. Hhehhe
***
Gara-gara
semalam belum makan, perutku sekarang mulai bergejolak. Huuhh pasti
cacing-cacing di dalam perutku sudah siap untuk menjadi guest star di
konser lapar untuk meminta sarapan
kepada empunya perut.
Pukul 07.00
Ayah
dan Ibu sudah bangun dari azan subuh tadi. Ta[I mereka sudah sibuk untuk
mempersiapkan layang-layang yang akan dibawa pada perlombaan di Balai Desa
pukul 09.00 pagi nanti. Sampai-sampai mereka tidak menyadari kegiatanku
subuh-subuh tadi.
“Asti,
selasai sarapan tolong bantu Ayah yaa..” pinta ayahku.
Oh
iya, saking senangnya, aku sampai lupa memberi tahu kalian. Ayahku adalah
seorang pembuat layang-layang terhebat di desaku, Bumi Asri. Dari anak kecil,
anak remaja hingga orang dewasa, dari masyarakat pribumi hingga turis
mancanegara yang datng ke desa kami selalu memesan layang-layang kepada Ayahku.
Itulah salah satu alasanku untuk begitu mencintai keluargaku dan layang-layang
tentunya.
Ayah
pernah bercerita kepadaku, pekerjaan ini Ia tekuni sejak muda. Bahkan kata
Ayah, Ayah dan Ibu bertemu karena layang-layang. Saat itu Ayah sedang menjual
layang-layang dan Ibu membeli layang-layang tersebut. Hingga Ayah dan Ibu
saling mengenal dan menikah sampai saat ini. Saking cintanya dengan layang-layang,
Ayah dan Ibu pernah berencana untuk menamai anaknya dengan nama “Layang
Asri”. Yang artinya layang-layang dari
desa Bumi Asri.
Tapi,
beruntunglah Aku, mereka tidak jadi menamai anaknya dengan nama tersebut.
Karena jika ia, aku pasti tidak akan ada disini. Mungkin saja sekarang aku
sedang berada di dalam sebuah lemari kaca, didalam Museum Rekor Indonesia
(MURI) lengkap dengan bambu panjang dari ujung kepala hingga ujung kaki dan
sepanjang lenganku. Dilengkapi dengan ekor dari kertas, kertas minyak berbentuk
layang-layang dan juga tulisan yang di ukir di batu marmer dekat lemari itu.
“ANAK
LAYANG-LAYANG YANG BISA DITERBANGKAN ANGIN”.
Ahhh… Aku bisa
membayangkannya.
Hidup
kami memang bergantung pada layang-layang. Karena dari situlah pendapatan Ayahku
berasal, disamping kebun sayur dan obat-obatan kecil, dibeakang pondok yang
dibangun Ibu.
***
Perlombaan
dimulai pukul 09.15. Setelah semua persiapan selesai, para peserta berbaris dan
berjejer rapi di pinggir lapangan sambil memegang layang-layang kebanggan
mereka masing-masing. Begitupun aku.
Dan
mulai hitungan ketiga. 1…2….3… perlombaan pun dimulai. Semua peserta berjuang
untuk menaikkan layang-layang mereka. Tarik ulur benang mereka lakukan untuk
mempertahankan kestabilan layangan mengudara.
Sementara
yang lain sedang asik mempertahankan kestabian layang-layangnya mengudara. Lalu
bagaimana denganku?.. aku masih sibuk memasang tali senar pada layang-layang
cantikku. Ternyata aku lupa memasangnya tadi pagi. Aku terlalu serius melukis
hiasan dikertas layang-layang yang polos sampai aku lupa dengan hal kecil
seperti ini. Bodohnya aku.. ckckckck
Tepat
pukul 10.00, perlombaan selesai. Dan sudah dipastikan aku tidak menjadi juara.
Huhhh.. Bagaimana bisa aku menjadi juara, sementara setengah jam sebeum perlombaan
selesai aku baru berhasil menaikkan layang-layangku ke udara dan lima menit
kemudian layanganku kembali mendarat karena di tabrak oleh layang-layang Alda,
anak Pak Lurah. Huhhh makin kesal saja aku jadinya.
***
“Juara
layang-layang cantik, di raih oleh….. Astiana Putri yang membawa… blablabla”.
Panjang lebar pembawa acara mengumumkan.
Eh,
aku mendengar namaku disebut-sebut.
“ahhh,
paling karena aku gak becus main layang-layang.. kenapa juga harus mereka
bahas.. aduuuhhh.”
“astiii”,
ayu menepuk pundakku dari belakang.
“kamu
dipanggil tuh, sana maju”, paksanya sambil mendorongku.
“loh,
emangnya aku kenapa yu?”, tanyaku bingung sambil menggaruk kepala yang
sebenarnya tidak gatal.
“selamaatt!!
Kamu memenangkan kategori layang-layang cantik..” kata pembawa acara.
“hhaaahhhh????”,
aku panik mendengarnya.
Aku
pulang dengan perasaan bangga. (walau tidak membawa piala juara 1). Ayah dan
Ibu menyambutku dengan gembira. Ternyata aku punya bakat melukis!!.
***
Kupajang
piala itu di atas lemari pakaianku. Setiap hari kupandangi dan ku gosok dengan
kain agar tetap mengilap.
Begitu
pula hari ini, 20 Juli 2008. Aku mengelus pialaku seperti enam belas tahun yang
lalu. Tapi kali ini, aku tidak melakukannya di atas lemari pakaianku yang
reyot. Tapi di atas dudukan piala dari marmer, di dalam studio lukisku, di
dalam rumah besar hasil keringatku sendiri.
Di
dinding studio banyak lukisan-lukisan indah karyaku. Dan yang terpenting adalah
sebuah layang-layang berfigura kayu jati berukir dengan lukisan dan coretan,
“Cantik” layang-layang investasi masa depanku.
“Ku ambil buluh sebatang..
Ku potong sama panjang..
Ku raut dan ku timbang dengan benang..
Ku jadikan layang-layang..”
Lagu
itu mengalun dalam benak dan pikiranku. Dengan kebanggan anak seorang pembuat
layang-layang.
Lagu
yang mengantarku tidur..
Lagu
untuk merayuku makan..
Lagu
selingan waktu bermain..
Dan
lagu yang menginspirasiku..
*Layang-Layang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar