Kamis, 24 Januari 2013

Layang-Layang



“Ku ambil buluh sebatang..
Ku potong sama panjang..
Ku raut dan ku timbang dengan benang..
Ku jadikan layang-layang..”

Sayup-sayup terdengar lantunan lagu masa kecilku, bahkan masa kecil indah kita semua. Juga, saat ini sedang dilantunkan seorang anak kecil berumur delapan tahun. Akulah anak kecil itu.

“Astiii….. Sudah malam!!, ayo tidur..”, pinta Ibu padaku.

“duuhhhh, Ibuu. Tanggung niih, besok kan ada perlombaan layang-layang di lapangan Balai Desa, Asti gak mau ketinggalan, bu.”

Besok siang, tepatnya hari minggu, tanggal 20 Juli 1992 diadakan perlombaan layang-layang, dan aku bersemangat sekali mengikutinya.

“Tapi, kamu harus bangun pagi. Kita akan bantu Ayah besok, karena orang-orang pasti mebeli banyak layang-layang . Dan itu memberi banyak keuntungan untuk kita. Untuk kamu juga tentunya.”

Akhirnya, Aku pun menuruti permintaan Ibu. Aku menyimpan layang-layang ku. Layang-layang itu masih polos seperti bayi baru dilahirkan. Belum dihias dan dipasang ekor. Aku berniat menyelesaikannya esok hari. Ya! Besok aku harus bangun pagi-pagi. Jangan sampai aku jadi bahan ejekan Tono, Ayu, Ratna dan Galih karena aku tidak mengikuti perlombaan itu. Aku harus membuktikkan, bahwa anak seorang penjual dan pembuat layang-layang juga berprestasi. Perlombaan ini adalah investasi masa depanku. Hhahhahha… aku baru mendapatkan kata-kata ‘investasi’ tadi pagi. Dari ucapan Ibu Dewi, Guru Bahasa Indonesia di kelasku.

Pokoknya perlomban besok aku harus menaaangggg !!!!
S E M A N G A T !!!!!....

***
 
Keesokan harinya, saat suara azan subuh menggema.

“Allohuakbar..Allohuakbar.. Laa ilaaha illalloh..”
Sayup-sayup terdengar lagi nyanyian yang kemarin.

“Ku ambil buluh sebatang..
Ku potong sama panjang..
Ku raut dan ku timbang dengan benang..
Ku jadikan layang-layang..”

Secara refleks aku tutup mulutku dengan telapak tangan.

“ups.. kalau aku berisik, nanti Ayah dan Ibu bangun. Oke, layang-layang berseni ciptaanku ini harus selesai sebelum matahari muncul.”

Lagi, lagi dan lagi.. lagu itu mengalun tanpa diminta. Tapi kali ini dengan volume yang lima kali lebih kecil dari sebelumnya. Yang lebih terdengar seperti orang menggumam, bukan orang bernyanyi.

Setelah satu setengah jam berlalu (yang sempat terputus untuk solat dan minum teh hangat) layang-layangku selesai.

“S E L E S A I..” teriakku. Namun teriakkan yang cukup untuk diri sendiri. Hhehhe

***
 
Gara-gara semalam belum makan, perutku sekarang mulai bergejolak. Huuhh pasti cacing-cacing di dalam perutku sudah siap untuk menjadi guest star di konser  lapar untuk meminta sarapan kepada empunya perut.

Pukul 07.00

Ayah dan Ibu sudah bangun dari azan subuh tadi. Ta[I mereka sudah sibuk untuk mempersiapkan layang-layang yang akan dibawa pada perlombaan di Balai Desa pukul 09.00 pagi nanti. Sampai-sampai mereka tidak menyadari kegiatanku subuh-subuh tadi.

“Asti, selasai sarapan tolong bantu Ayah yaa..” pinta ayahku.

Oh iya, saking senangnya, aku sampai lupa memberi tahu kalian. Ayahku adalah seorang pembuat layang-layang terhebat di desaku, Bumi Asri. Dari anak kecil, anak remaja hingga orang dewasa, dari masyarakat pribumi hingga turis mancanegara yang datng ke desa kami selalu memesan layang-layang kepada Ayahku. Itulah salah satu alasanku untuk begitu mencintai keluargaku dan layang-layang tentunya.

Ayah pernah bercerita kepadaku, pekerjaan ini Ia tekuni sejak muda. Bahkan kata Ayah, Ayah dan Ibu bertemu karena layang-layang. Saat itu Ayah sedang menjual layang-layang dan Ibu membeli layang-layang tersebut. Hingga Ayah dan Ibu saling mengenal dan menikah sampai saat ini. Saking cintanya dengan layang-layang, Ayah dan Ibu pernah berencana untuk menamai anaknya dengan nama “Layang Asri”.  Yang artinya layang-layang dari desa Bumi Asri.

Tapi, beruntunglah Aku, mereka tidak jadi menamai anaknya dengan nama tersebut. Karena jika ia, aku pasti tidak akan ada disini. Mungkin saja sekarang aku sedang berada di dalam sebuah lemari kaca, didalam Museum Rekor Indonesia (MURI) lengkap dengan bambu panjang dari ujung kepala hingga ujung kaki dan sepanjang lenganku. Dilengkapi dengan ekor dari kertas, kertas minyak berbentuk layang-layang dan juga tulisan yang di ukir di batu marmer dekat lemari itu.

“ANAK LAYANG-LAYANG YANG BISA DITERBANGKAN ANGIN”.

Ahhh… Aku bisa membayangkannya.

Hidup kami memang bergantung pada layang-layang. Karena dari situlah pendapatan Ayahku berasal, disamping kebun sayur dan obat-obatan kecil, dibeakang pondok yang dibangun Ibu.

***

Perlombaan dimulai pukul 09.15. Setelah semua persiapan selesai, para peserta berbaris dan berjejer rapi di pinggir lapangan sambil memegang layang-layang kebanggan mereka masing-masing. Begitupun aku.

Dan mulai hitungan ketiga. 1…2….3… perlombaan pun dimulai. Semua peserta berjuang untuk menaikkan layang-layang mereka. Tarik ulur benang mereka lakukan untuk mempertahankan kestabilan layangan mengudara.

Sementara yang lain sedang asik mempertahankan kestabian layang-layangnya mengudara. Lalu bagaimana denganku?.. aku masih sibuk memasang tali senar pada layang-layang cantikku. Ternyata aku lupa memasangnya tadi pagi. Aku terlalu serius melukis hiasan dikertas layang-layang yang polos sampai aku lupa dengan hal kecil seperti ini. Bodohnya aku.. ckckckck

Tepat pukul 10.00, perlombaan selesai. Dan sudah dipastikan aku tidak menjadi juara. Huhhh.. Bagaimana bisa aku menjadi juara, sementara setengah jam sebeum perlombaan selesai aku baru berhasil menaikkan layang-layangku ke udara dan lima menit kemudian layanganku kembali mendarat karena di tabrak oleh layang-layang Alda, anak Pak Lurah. Huhhh makin kesal saja aku jadinya.

***

“Juara layang-layang cantik, di raih oleh….. Astiana Putri yang membawa… blablabla”. Panjang lebar pembawa acara mengumumkan.

Eh, aku mendengar namaku disebut-sebut.

“ahhh, paling karena aku gak becus main layang-layang.. kenapa juga harus mereka bahas.. aduuuhhh.”

“astiii”, ayu menepuk pundakku dari belakang.

“kamu dipanggil tuh, sana maju”, paksanya sambil mendorongku.

“loh, emangnya aku kenapa yu?”, tanyaku bingung sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

“selamaatt!! Kamu memenangkan kategori layang-layang cantik..” kata pembawa acara.

“hhaaahhhh????”, aku panik mendengarnya.

Aku pulang dengan perasaan bangga. (walau tidak membawa piala juara 1). Ayah dan Ibu menyambutku dengan gembira. Ternyata aku punya bakat melukis!!.

***

Kupajang piala itu di atas lemari pakaianku. Setiap hari kupandangi dan ku gosok dengan kain agar tetap mengilap.

Begitu pula hari ini, 20 Juli 2008. Aku mengelus pialaku seperti enam belas tahun yang lalu. Tapi kali ini, aku tidak melakukannya di atas lemari pakaianku yang reyot. Tapi di atas dudukan piala dari marmer, di dalam studio lukisku, di dalam rumah besar hasil keringatku sendiri.

Di dinding studio banyak lukisan-lukisan indah karyaku. Dan yang terpenting adalah sebuah layang-layang berfigura kayu jati berukir dengan lukisan dan coretan, “Cantik” layang-layang investasi masa depanku.

“Ku ambil buluh sebatang..
Ku potong sama panjang..
Ku raut dan ku timbang dengan benang..
Ku jadikan layang-layang..”

Lagu itu mengalun dalam benak dan pikiranku. Dengan kebanggan anak seorang pembuat layang-layang.

Lagu yang mengantarku tidur..
Lagu untuk merayuku makan..
Lagu selingan waktu bermain..
Dan lagu yang menginspirasiku..

*Layang-Layang*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar