Cuit..
cuit..cuit..
Tiba-tiba
aku terjaga dari tidur nyenyakku . burung-burung kecil nan cantik sudah
menantiku di depan kamarku. Aku menggeliat menandakan malas. Namun
burung-burung cantik itu tetap melonjak-lonjak dan menari-nari gembira seolah
mengajakku bangun dan ikut bermain bersama mereka. Alih-alih menarik kembali
selimut beludru dan kembali merajut mimpi.
“tok…
tok…”, terdengar suara pintu kamar di ketuk.
“nooonnn…
sudah siang, ayo mandi”.
Seseorang berseru
di depan pintu kamarku. Ahh, mbok Ratmi pikirku.
“iya, mbok..”
Aku melonjak dari tempat tidurku yang
lebih mirip ranjang ekstra besar. Yang cukup untuk lima orang dengan bantal
guling bersarung bludru lembut seperti kapas. Sehingga membuatku tak ingin
cepat-cepat turun darinya.
Mbok Ratmi telah menyiapkan air hangat
di dalam bak yang dibuat dengan bahan batu pualam. Taburan bunga melati,
mawar,anggrek daan krisant menyembul di sekitarku, membuat harum tubuhku
semakin memesona.
Pakaianku selalu rapi, bersih dan harum.
Dibuat dari kain sutera berkualitastinggi dengan sulaman benang sutera pula.
Ya! Betapa indahnya hidup ini. Karena aku adlah seorang Puteri. Namaku juga
Puteri. Dengan orang tua yang berasal dari keturunan ningrat.
Rumahku lebih mirip istana (kastil).
Dengan sentuhan batu granit, pualan dan beberapa kayu-kayu jati dan cendana.
“Mbok, jangan lupa kamarku dibersihkan
yaa,,” pintaku dengan logat dan legok seorang priyayi.
Aku berlari-lari
dengan burung-burung dan kupu-kupu yang berterbangan lincah, kesana-kemari.
Memetik bunga-bunga yang tumbuh liar di taman.
“Puteriiiii….”, Mbok ratmi memanggilku.
“Apa Mbok?”, jawabku masih sibuk bermain
sambil mengelus-elus kelinci putih.
“Ayo makan dulu, nanti sakit!.”
“oke!”. Jawabku sambil berlari ke arah
mbok Ratmi.
“Aduuhh, Puterii… Jangan gendong-gendong
kelinci dongg!!, memang kelincinya mau di bikin sate?”.
Ups!. Aku lupa
kalau aku masih menggendong kelinci putih yang bermain bersamaku tadi. Aku
meletakkannya kembali ke taman lalu berbalik dan berlari ke arah meja makan.
Meja makan di rumahku terbuat dari kayu ‘ek’, berdiameter cukup besar dan
diatasnya sudah terhidang berbagai macam hidangan kesukaan keluargaku.
***
Hari sudah malam lagi, aku kembali ke
kamarku yang lantainya berlapis keramik cina biru laut. Saat aku berjalan di
atasnya membuat seolah aku seperti roh laut yang berjalan anggung di atas
catwalk yang terbuat dari air laut asin yang terhampar tak berujung.
Lilin-lilin wangi menghiasi sisi meja riasku
dan tepi jendela kamarku yang berlapis tembaga dan perak. Dan juga di tepian
ranjangku. Ahh.. indah bukan?
“tok..tok..”
“kak..”
Seketika aku
mencium wangi bunga lavender mencuat dari arah pintu kamar. Itu adalah wangi
khas adikku. Emer, adik bungsuku yang baru berumur lima tahun .
“ada apa, emer cantik?”, jawabku manja.
“ahh.. kakak. Jangan Emer dong, panggil
aku Puteri Emerald.” Jawabnya sambil memelukku.
“loh, masa nama kakak di bawa-bawa?.”
“ihh.. kakak..”
Aku memang sangat memanjakan Emer.
Bahkan seluruh isi istana. Dia memang sangat cantik, dengan mata biru lautnya
yang tenang dan ceria. Keturunan mata ibunda. Dibandingkan dengan aku yang
memiliki mata coklat tanah persis seperti ayahanda. Namun, di balik
kecantikannya, Emer memiliki kelemahan. Jantungnya bermasalah, begitu kata
tabib yang memeriksanya beberapa tahun lalu. Oleh karenanya, dia jarang
diperbolehkan berlari-lari denganku di taman. Dia hanya boleh bermain di kursi
taman dengan ibu, sambil merajut atau merangkai bunga. Itulah sebabnya, Emer
selalu wangi harum bunga. Emer juga jarang keluar, takut kalau jantungnya
melemah karena kepanasan. Itulah sebabnya kulit Emer menjadi sedikit pucat
bercampur merah muda, alih-alih kulitku yang coklat karena sering terpanggang
sinar matahari. Ini menjadi satu alasan aku akan selalu menjaga mereka semua,
ayah, ibu dan terutama Emer serta seluruh isi istana.
Emer dijemput oleh mbok Ratmi untuk
kembali ke kamarnya. Dan tak lama akupun terlelap dalam tidur dan mimpiku.
***
“praaangggg”.
Tiba-tiba aku terjaga, sepertinya. Aku
langsung turun dari tempat tidurku, berlari keluar kamar dan langsung ke arah
tangga. Berniat untuk melihat apa yang terjadi. Namun, tiba-tiba seseorang
mendekapku dari belakang. Aku bersiap untuk menendangnya dan teriak. Namun
kuurungkan karena orang itu langsung berbisik kepadaku.
“ini mbok Ratmi, Puteri”
“ada apasih mbok? Koq di bawak ramai
sekali?”, tanyaku pada mbok Ratmi.
“ada rampok, Puteri, mereka sedang
menyandera Ayah dan Ibu Puteri.”
“apaaaa?”. Jawabku kaget.
Seketika perampok itu menoleh ke atas dan
mbok Ratmi panik. Dia langsung menarikku ke belakang, berlari ke loteng dan
bersembunyi di dalam gudang tua yang sumpek.
Meringkuk di antara barang barang bekas
yang sudah di gerogiti rayap, bersama tikus, kecoa dan hewan-hewan penghuni
gudang tua. Mbok Ratmi langsung mengunci rapat-rapat loteng itu. Terdengar
suara gaduh di luar. Para perampok sedang berlarian mencari arah teriakan tadi.
Tapi nampaknya mereka kecewa dan tidak menemukan kami.
Setelah terdegar sepi, mbok Ratmi lari
ke arah pintu gudang dan membukanya.
“mbok mau kemana?”
“mbok
ndak bisa diam Puteri. Mbok sudah lama mengabdi sama kanjeng Ibu dan Bapak.
Mbok karus menolong mereka.”
“tapi bahaya mbok. Kalau gitu Puteri
ikut, mbok.”
Aku melangkah pelan dan hati-hati
mengikuti si mbok. Sampai di pilar tangga aku mendengar teriakan.
“tidaaaaaaakkkkkkkkkkkk……..”
Jelas sekali itu suara ibunda. Aku
langsung melihat ke bawah dan melihat Ayahanda sudah bersimbah darah dengan
sebuah belati yang menancap di dadanya. Disana terlihat ibu sedang memangku
kepala ayah dan menangis sejadi-jadinya.
Pandanganku beralih ke para perampok
yang sedang menggendong seseorang, seseorang gadis kecil. Itu Emer.. Aku harus
ke bawah..
Saat aku menoleh ke samping perampok,
aku seperti melihat si mbok. Dan memang benar itu si mbok yang sekarang sudah
tidak ada di sampingku lagi. Mbok sudah di bawah dan sedang memegang guci yang
siap di lemparkan.
“praaaakkkk”
Guci berhasil mendarat dikepala si
perampok yang menggedong Emer. Dia langsung jatuh bersimbah darah dan Emer
langsung berlari ke arah Ibunda.
Karena hal itu perampok yang lainnya
langsung menhampiri mbok Ratmi dan mendaratkan belati besar di punggung si
mbok. Kini giliran mbok Ratmi yang bersimbah darah dan perampok langsung
membawa sekotak besar perhiasan dan barang-barang berharga lainnya yang ada di
rumahku.
Seorang perampok yang lainnya menarik
Emer lalu menggendongnya. Emer menolak dan berontak. Sang perampok bilang, akan
menjual Emer dan menjadikannya budak. Ibunda geram mendengarnya dan seketika bangun
dan memukuli perampok itu.
Perampok yang memegang perhiasan
langsung menarik ibu dan menarik-narik pakaian suteranya. Dan melakukan hal
yang senonoh. Ibu diperkosa oleh perampok di hadapan ayah yang sedang sekarat
dan Emer yang masih berontak. Dan tentunya saja aku, si bodoh yang sedari tadi
tidak melakukan apa-apa dan hanya menonton kejadian itu dari lantai atas.
Ibu menangis. Dengan pakaian seadanya
ibu memukulkan sebuah guci kristal ke kepala si pemerkosa. Merasa mendapat
pukulan, si perampok membalas ibu dengan membenturkan kepala ibu ke tembok
berulang kali hingga kepalanya retak dan ibu lemas tak bernyawa.
Aku menggigit lidah melihatnya dan air
mataku menete sejadinya tanpa ampun dan sepertinya akan habis sebentar lagi.
Dan kepalaku berputar.
Masih terdengar suara Emer menangis dan
berontak sambil memanggil-manggil Ibu yang kini sudah tergeletak. Ayah menarik
kaki perampok yang dekat dengan ayah. Belum sampai terjatuh perampok itu malah
menendang kepala ayah hingga kulihat ayah telah tergeletak lemas di lantai.
Perampok-perimpok itu pun pergi membawa
Emer, barang-barang hasil perampokan dan membawa jiwa-jiwa orang-orang yang ku
cintai. Membawa hatiku yang kini telah hancur berkeping-keping menjadi debu.
Kepalaku kini semakin pening dan akupun ambruk.
***
*to be continued*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar