Jumat, 25 Januari 2013

Princess of Neverland (part1)



Cuit.. cuit..cuit..

Tiba-tiba aku terjaga dari tidur nyenyakku . burung-burung kecil nan cantik sudah menantiku di depan kamarku. Aku menggeliat menandakan malas. Namun burung-burung cantik itu tetap melonjak-lonjak dan menari-nari gembira seolah mengajakku bangun dan ikut bermain bersama mereka. Alih-alih menarik kembali selimut beludru dan kembali merajut mimpi.

“tok… tok…”, terdengar suara pintu kamar di ketuk.

“nooonnn… sudah siang, ayo mandi”.

Seseorang berseru di depan pintu kamarku. Ahh, mbok Ratmi pikirku.

        “iya, mbok..”

        Aku melonjak dari tempat tidurku yang lebih mirip ranjang ekstra besar. Yang cukup untuk lima orang dengan bantal guling bersarung bludru lembut seperti kapas. Sehingga membuatku tak ingin cepat-cepat turun darinya.

        Mbok Ratmi telah menyiapkan air hangat di dalam bak yang dibuat dengan bahan batu pualam. Taburan bunga melati, mawar,anggrek daan krisant menyembul di sekitarku, membuat harum tubuhku semakin memesona.

        Pakaianku selalu rapi, bersih dan harum. Dibuat dari kain sutera berkualitastinggi dengan sulaman benang sutera pula. Ya! Betapa indahnya hidup ini. Karena aku adlah seorang Puteri. Namaku juga Puteri. Dengan orang tua yang berasal dari keturunan ningrat.

        Rumahku lebih mirip istana (kastil). Dengan sentuhan batu granit, pualan dan beberapa kayu-kayu jati dan cendana.

        “Mbok, jangan lupa kamarku dibersihkan yaa,,” pintaku dengan logat dan legok seorang priyayi.
Aku berlari-lari dengan burung-burung dan kupu-kupu yang berterbangan lincah, kesana-kemari. Memetik bunga-bunga yang tumbuh liar di taman.

        “Puteriiiii….”, Mbok ratmi memanggilku.

        “Apa Mbok?”, jawabku masih sibuk bermain sambil mengelus-elus kelinci putih.

        “Ayo makan dulu, nanti sakit!.”

        “oke!”. Jawabku sambil berlari ke arah mbok Ratmi.

        “Aduuhh, Puterii… Jangan gendong-gendong kelinci dongg!!, memang kelincinya mau di bikin sate?”.

Ups!. Aku lupa kalau aku masih menggendong kelinci putih yang bermain bersamaku tadi. Aku meletakkannya kembali ke taman lalu berbalik dan berlari ke arah meja makan. Meja makan di rumahku terbuat dari kayu ‘ek’, berdiameter cukup besar dan diatasnya sudah terhidang berbagai macam hidangan kesukaan keluargaku.

***

        Hari sudah malam lagi, aku kembali ke kamarku yang lantainya berlapis keramik cina biru laut. Saat aku berjalan di atasnya membuat seolah aku seperti roh laut yang berjalan anggung di atas catwalk yang terbuat dari air laut asin yang terhampar tak berujung.

        Lilin-lilin wangi menghiasi sisi meja riasku dan tepi jendela kamarku yang berlapis tembaga dan perak. Dan juga di tepian ranjangku. Ahh.. indah bukan?

        “tok..tok..”

        “kak..”

Seketika aku mencium wangi bunga lavender mencuat dari arah pintu kamar. Itu adalah wangi khas adikku. Emer, adik bungsuku yang baru berumur lima tahun .

        “ada apa, emer cantik?”, jawabku manja.

        “ahh.. kakak. Jangan Emer dong, panggil aku Puteri Emerald.” Jawabnya sambil memelukku.

        “loh, masa nama kakak di bawa-bawa?.”

        “ihh.. kakak..”

        Aku memang sangat memanjakan Emer. Bahkan seluruh isi istana. Dia memang sangat cantik, dengan mata biru lautnya yang tenang dan ceria. Keturunan mata ibunda. Dibandingkan dengan aku yang memiliki mata coklat tanah persis seperti ayahanda. Namun, di balik kecantikannya, Emer memiliki kelemahan. Jantungnya bermasalah, begitu kata tabib yang memeriksanya beberapa tahun lalu. Oleh karenanya, dia jarang diperbolehkan berlari-lari denganku di taman. Dia hanya boleh bermain di kursi taman dengan ibu, sambil merajut atau merangkai bunga. Itulah sebabnya, Emer selalu wangi harum bunga. Emer juga jarang keluar, takut kalau jantungnya melemah karena kepanasan. Itulah sebabnya kulit Emer menjadi sedikit pucat bercampur merah muda, alih-alih kulitku yang coklat karena sering terpanggang sinar matahari. Ini menjadi satu alasan aku akan selalu menjaga mereka semua, ayah, ibu dan terutama Emer serta seluruh isi istana.

        Emer dijemput oleh mbok Ratmi untuk kembali ke kamarnya. Dan tak lama akupun terlelap dalam tidur dan mimpiku.

***

        “praaangggg”.

        Tiba-tiba aku terjaga, sepertinya. Aku langsung turun dari tempat tidurku, berlari keluar kamar dan langsung ke arah tangga. Berniat untuk melihat apa yang terjadi. Namun, tiba-tiba seseorang mendekapku dari belakang. Aku bersiap untuk menendangnya dan teriak. Namun kuurungkan karena orang itu langsung berbisik kepadaku.

        “ini mbok Ratmi, Puteri”

        “ada apasih mbok? Koq di bawak ramai sekali?”, tanyaku pada mbok Ratmi.

        “ada rampok, Puteri, mereka sedang menyandera Ayah dan Ibu Puteri.”

        “apaaaa?”. Jawabku kaget.

        Seketika perampok itu menoleh ke atas dan mbok Ratmi panik. Dia langsung menarikku ke belakang, berlari ke loteng dan bersembunyi di dalam gudang tua yang sumpek.

        Meringkuk di antara barang barang bekas yang sudah di gerogiti rayap, bersama tikus, kecoa dan hewan-hewan penghuni gudang tua. Mbok Ratmi langsung mengunci rapat-rapat loteng itu. Terdengar suara gaduh di luar. Para perampok sedang berlarian mencari arah teriakan tadi. Tapi nampaknya mereka kecewa dan tidak menemukan kami.

        Setelah terdegar sepi, mbok Ratmi lari ke arah pintu gudang dan membukanya.

        “mbok mau kemana?”

        “mbok ndak bisa diam Puteri. Mbok sudah lama mengabdi sama kanjeng Ibu dan Bapak. Mbok karus menolong mereka.”

        “tapi bahaya mbok. Kalau gitu Puteri ikut, mbok.”

        Aku melangkah pelan dan hati-hati mengikuti si mbok. Sampai di pilar tangga aku mendengar teriakan.

        “tidaaaaaaakkkkkkkkkkkk……..”

        Jelas sekali itu suara ibunda. Aku langsung melihat ke bawah dan melihat Ayahanda sudah bersimbah darah dengan sebuah belati yang menancap di dadanya. Disana terlihat ibu sedang memangku kepala ayah dan menangis sejadi-jadinya.

        Pandanganku beralih ke para perampok yang sedang menggendong seseorang, seseorang gadis kecil. Itu Emer.. Aku harus ke bawah..

        Saat aku menoleh ke samping perampok, aku seperti melihat si mbok. Dan memang benar itu si mbok yang sekarang sudah tidak ada di sampingku lagi. Mbok sudah di bawah dan sedang memegang guci yang siap di lemparkan.

        “praaaakkkk”

        Guci berhasil mendarat dikepala si perampok yang menggedong Emer. Dia langsung jatuh bersimbah darah dan Emer langsung berlari ke arah Ibunda.

        Karena hal itu perampok yang lainnya langsung menhampiri mbok Ratmi dan mendaratkan belati besar di punggung si mbok. Kini giliran mbok Ratmi yang bersimbah darah dan perampok langsung membawa sekotak besar perhiasan dan barang-barang berharga lainnya yang ada di rumahku.

        Seorang perampok yang lainnya menarik Emer lalu menggendongnya. Emer menolak dan berontak. Sang perampok bilang, akan menjual Emer dan menjadikannya budak. Ibunda geram mendengarnya dan seketika bangun dan memukuli perampok itu.

        Perampok yang memegang perhiasan langsung menarik ibu dan menarik-narik pakaian suteranya. Dan melakukan hal yang senonoh. Ibu diperkosa oleh perampok di hadapan ayah yang sedang sekarat dan Emer yang masih berontak. Dan tentunya saja aku, si bodoh yang sedari tadi tidak melakukan apa-apa dan hanya menonton kejadian itu dari lantai atas.

        Ibu menangis. Dengan pakaian seadanya ibu memukulkan sebuah guci kristal ke kepala si pemerkosa. Merasa mendapat pukulan, si perampok membalas ibu dengan membenturkan kepala ibu ke tembok berulang kali hingga kepalanya retak dan ibu lemas tak bernyawa.

        Aku menggigit lidah melihatnya dan air mataku menete sejadinya tanpa ampun dan sepertinya akan habis sebentar lagi. Dan kepalaku berputar.

        Masih terdengar suara Emer menangis dan berontak sambil memanggil-manggil Ibu yang kini sudah tergeletak. Ayah menarik kaki perampok yang dekat dengan ayah. Belum sampai terjatuh perampok itu malah menendang kepala ayah hingga kulihat ayah telah tergeletak lemas di lantai.

        Perampok-perimpok itu pun pergi membawa Emer, barang-barang hasil perampokan dan membawa jiwa-jiwa orang-orang yang ku cintai. Membawa hatiku yang kini telah hancur berkeping-keping menjadi debu. Kepalaku kini semakin pening dan akupun ambruk.

***
*to be continued*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar