Di
sebuah jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar, di pinggir aliran sungai
Bengawan Solo tepatnya, di sinilah kini aku berada. Di depan sebuah pondok tua,
reyot, kusut, lusuh, tak terurus, seperti keriput mbah-mbah yang kutemui di
sawah tadi. Ku taksir umurnya sama dengan umur ibuku, 35 tahun, mungkin.
“nduk,
hati-hati kalau melewati pondok reyot di pinggir sungai, baiknya koe lewat
jalan memutar saja, daripada kena macam-macam.”
Teringat dengan pesan Pakdeku
tadi pagi. Seperti dejavu kalau kata Ayah.
“pondok
kui di tinggali mbok Iroh, tukang santet, nek wong kuto ngarani nenek sihir
nduk. Ati-ati wae yo nduk.”
“ahh.. Pakde. Masa iya jaman internet kaya
sekarang ini masih ada yang begituan.”, balasku dengan senyuman lalu mencium
tangannya tanda aku pamit berangkat ke sekolah.
Kembali
ke pondok reyot. Aku melupakan perkataan Pakde dan jalan terus melewati
kebun-kebun sayuran kecil. Baik saat berangkat ke sekolah ataupun pulang dari
sekolah aku selalu melewati jalan tersebut. Dan aku selalu selamat sampai di
tujuan di hari kedua, kesepuluh sampai dengan hari kettiga puluh aku ada di
kampung ini.
Tidak
kusangka aku telah genap satu bulan bersekolah di kampung dan masih melewati
pondok itu seorang diri tiap kali berangkat ataupun pulang sekolah. Dan sampai
detik ini pula aku belum pernah merasa takut dan masih bisa sampai tujuan
dengan selamat. Malahan, aku mendapat teman baru. Seorang nenek yang kutemui di
kebun sayuran setiap pagi saat aku berangkat ke sekolah dan sore hari saat aku
pulang dari sekolah. Kutaksir dia sebaya dengan Eyang putriku, sekitar kepala
enam mungkin. Tapi, di umur segitu dia masih kelihatan kuat, walaupun
diwajahnya sudah banyak keriput yang berlomba-lomba menampakkan diri.
Setiap
sore, aku selalu diajak mampir ke kebunnya. Nenek yang tidak mau menyebutkan
namanya itu menceritakan kehidupannya kepadaku. Dari masa remajanya yang sering
bermain-main di sungai dengan teman, masa-masa puber saat kenalan dengan
suaminya yang sekarang sudah almarhum, sampai cucu-cucunya yang katanya ada
hampir dua puluh orang lebih dan hampir semuanya jadi orang sukses di kota.
Suati
hari, saat keingintahuanku muncul, aku beranikan diri untuk menanyakan alasan
mengapa anak-anak dan cucu-cucunya meninggalkan dia sendirian. Dia hanya
menjawab dengan senyumnya yang khas, yang memperlihatkan gigi putihnya, dan
keriput-keriput disekitar mulut dan pipinya.
“mereka
biar bahagianduk, ndak usah ngurusi mbah yang sudah reot ini, mbah juga masih
kuat hidup sendiri.”
Setelah
berkata demikian, mbah langsung menyuruhku kembali ke rumah dan tak lupa memberiku
oleh-oleh buah-buahan. Dan lagi-lagi aku lupa menanyakan namanya.
Ahh…
tidak terasa sudah satu tahun aku tinggal di kampung. Dan hari ini merupakan
hari kelulusan, aku tidak sabar menanti kabar apa yang aku terima nanti. Saat berangkat,
seperti biasa, aku melewati kebun di dekat pondok. Tapi aku tidak melihat nenek
yang biasa. Ahh, mungkin dia sedang sibuk memasak di rumah atau sedang di
ladang pikirku.
Aku
lulus.. Dan akan melanjutkan ke SMU di Jakarta, seperti rencana Ayah dan Ibu. Pulangnya,
lagi-lagi aku tidak menemui nenek yang biasanya. Tapi, aku menemukan
sekeranjang buah-buahan dan sayura di dekat ladang saat aku mencoba mencari
nenek di sekitar ladang.
Sampai
di rumah aku serahkan keranjang itu ke Ibu. Dan sampai saat ini aku masih
penasaran dengan identitas nenek yang sering kutemui. Di dalam keranjang, aku
melihat secarik kertas lusuh dengan tulisan rapi mirip tulisan eyangku.
17 Juli 2007
Buat Kirani,
Maaf kalau saat rani baca
surat dari nenek ini, mungkin nenek sudah ndak ada lagi, di ladang, di rumah,
di Desa Batu Rejo, bahkan di dunia ini, nduk.
Nenek sangat sayang sama Rani,
karena Rani mirip sekali dengan cucu nenek yang dua tahun lalu meninggal dunia.
Karena itu, nenek selalu mengirimkan banyak buah-buahan dan sayuran.
Dan juga nenek minta maaf,
karena nenek ndak pernah sebutin nama nenek, karena berita-berita jelek yang
tersebar di desa kitaini. Nenek takut Rani akan benci dengan nenek. Nenek takut,
Rani. Nenek sudah banyak merasa takut.
Nenek sebenarnya tidak punya
banyak cucu, bahkan nenek ndak punya cucu sama sekali, wong anak aja nenek
hanya punya satu orang. Suami nenek meninggal karena dipukuli orang-orang desa,
ketahuan mencuri sayuran di kebun Pak Kades.
Dan rumah nenek ada di
seberang sungai, di Pondok Reot. Nenek adalah nenek sihir, tukang santet yang
diceritakan orang-orang.
Mbok Iroh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar