Jumat, 25 Januari 2013

Mbok Iroh



Di sebuah jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar, di pinggir aliran sungai Bengawan Solo tepatnya, di sinilah kini aku berada. Di depan sebuah pondok tua, reyot, kusut, lusuh, tak terurus, seperti keriput mbah-mbah yang kutemui di sawah tadi. Ku taksir umurnya sama dengan umur ibuku, 35 tahun, mungkin.
     
       “nduk, hati-hati kalau melewati pondok reyot di pinggir sungai, baiknya koe lewat jalan memutar saja, daripada kena macam-macam.”

Teringat dengan pesan Pakdeku tadi pagi. Seperti dejavu kalau kata Ayah.

      “pondok kui di tinggali mbok Iroh, tukang santet, nek wong kuto ngarani nenek sihir nduk.  Ati-ati wae yo nduk.”

      “ahh.. Pakde. Masa iya jaman internet kaya sekarang ini masih ada yang begituan.”, balasku dengan senyuman lalu mencium tangannya tanda aku pamit berangkat ke sekolah.

Kembali ke pondok reyot. Aku melupakan perkataan Pakde dan jalan terus melewati kebun-kebun sayuran kecil. Baik saat berangkat ke sekolah ataupun pulang dari sekolah aku selalu melewati jalan tersebut. Dan aku selalu selamat sampai di tujuan di hari kedua, kesepuluh sampai dengan hari kettiga puluh aku ada di kampung ini.

Tidak kusangka aku telah genap satu bulan bersekolah di kampung dan masih melewati pondok itu seorang diri tiap kali berangkat ataupun pulang sekolah. Dan sampai detik ini pula aku belum pernah merasa takut dan masih bisa sampai tujuan dengan selamat. Malahan, aku mendapat teman baru. Seorang nenek yang kutemui di kebun sayuran setiap pagi saat aku berangkat ke sekolah dan sore hari saat aku pulang dari sekolah. Kutaksir dia sebaya dengan Eyang putriku, sekitar kepala enam mungkin. Tapi, di umur segitu dia masih kelihatan kuat, walaupun diwajahnya sudah banyak keriput yang berlomba-lomba menampakkan diri.

Setiap sore, aku selalu diajak mampir ke kebunnya. Nenek yang tidak mau menyebutkan namanya itu menceritakan kehidupannya kepadaku. Dari masa remajanya yang sering bermain-main di sungai dengan teman, masa-masa puber saat kenalan dengan suaminya yang sekarang sudah almarhum, sampai cucu-cucunya yang katanya ada hampir dua puluh orang lebih dan hampir semuanya jadi orang sukses di kota.

Suati hari, saat keingintahuanku muncul, aku beranikan diri untuk menanyakan alasan mengapa anak-anak dan cucu-cucunya meninggalkan dia sendirian. Dia hanya menjawab dengan senyumnya yang khas, yang memperlihatkan gigi putihnya, dan keriput-keriput disekitar mulut dan pipinya.

      “mereka biar bahagianduk, ndak usah ngurusi mbah yang sudah reot ini, mbah juga masih kuat hidup sendiri.”

Setelah berkata demikian, mbah langsung menyuruhku kembali ke rumah dan tak lupa memberiku oleh-oleh buah-buahan. Dan lagi-lagi aku lupa menanyakan namanya.

Ahh… tidak terasa sudah satu tahun aku tinggal di kampung. Dan hari ini merupakan hari kelulusan, aku tidak sabar menanti kabar apa yang aku terima nanti. Saat berangkat, seperti biasa, aku melewati kebun di dekat pondok. Tapi aku tidak melihat nenek yang biasa. Ahh, mungkin dia sedang sibuk memasak di rumah atau sedang di ladang pikirku.

Aku lulus.. Dan akan melanjutkan ke SMU di Jakarta, seperti rencana Ayah dan Ibu. Pulangnya, lagi-lagi aku tidak menemui nenek yang biasanya. Tapi, aku menemukan sekeranjang buah-buahan dan sayura di dekat ladang saat aku mencoba mencari nenek di sekitar ladang.

Sampai di rumah aku serahkan keranjang itu ke Ibu. Dan sampai saat ini aku masih penasaran dengan identitas nenek yang sering kutemui. Di dalam keranjang, aku melihat secarik kertas lusuh dengan tulisan rapi mirip tulisan eyangku. 


17 Juli 2007
Buat Kirani,

Maaf kalau saat rani baca surat dari nenek ini, mungkin nenek sudah ndak ada lagi, di ladang, di rumah, di Desa Batu Rejo, bahkan di dunia ini, nduk.

Nenek sangat sayang sama Rani, karena Rani mirip sekali dengan cucu nenek yang dua tahun lalu meninggal dunia. Karena itu, nenek selalu mengirimkan banyak buah-buahan dan sayuran.

Dan juga nenek minta maaf, karena nenek ndak pernah sebutin nama nenek, karena berita-berita jelek yang tersebar di desa kitaini. Nenek takut Rani akan benci dengan nenek. Nenek takut, Rani. Nenek sudah banyak merasa takut.

Nenek sebenarnya tidak punya banyak cucu, bahkan nenek ndak punya cucu sama sekali, wong anak aja nenek hanya punya satu orang. Suami nenek meninggal karena dipukuli orang-orang desa, ketahuan mencuri sayuran di kebun Pak Kades.

Dan rumah nenek ada di seberang sungai, di Pondok Reot. Nenek adalah nenek sihir, tukang santet yang diceritakan orang-orang.

Mbok Iroh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar