Majalah
TIME edisi akhir tahun 2009 memilih Gubernur Federal Reserve (The Fed) Amerika
Serikat, Ben Bernanke sebagai “Man of The Year 2009”. Terpilihnya profesor ahli
Depresi Besar Ekonomi pada Universitas Priceton ini menyisihkan banyak tokoh
besar dunia. TIME memilih Bernanke atas keberaniannya mengelontorkan dana
miliaran dolar AS sebagai dana talangan ke industri perbankan, lembaga keuangan
hingga ke banyak korporasi. Tindakan ini diambil untuk mencegah resesi lebih
mengila dan mendalam. Buah keberanian Bernanke ini sudah terlihat ketika
perekonomian AS menunjukan gejala membaik dari pemulihan.
Pilihan
TIME atas Ben Bernanke menimbulkan banyak kecaman. Pasalnya, Bernanke terbilang
terlalu nekad mempertaruhkan dana miliaran dolar AS untuk menalangi
kebangkrutan industri keuangan, finansial dan manufaktur. Pro dan kontra atas
sebuah kebijakan yang diambil dalam situasi krisis adalah hal lumrah. Hal yang tak
jauh berbeda ketika Bank Indonesia menetapkan Bank Century sebagai bank gagal
yang berpotensial sistemik (20 Nopember 2008). Dalam situasi yang serba kritis akibat
krisis yang mendalam di Indonesia, KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan)
harus mengambil keputusan: menutup atau menyelamatkan Bank Century. Pilihan pun
jatuh pada putusan menyelematkan yang adalah jamak seperti halnya ketika The
Fed menyelamatkan perbankan di negaranya.
Untuk
menyelamatkan Bank Century diperlukan dana setidaknya Rp6,76triliun. Rincian
angka bailout sebesar itu adalah untuk keperluan menambah modal bank (CAR) hingga
8% sebesar Rp1,7 triliunan kebutuhan likuiditas 3 (tiga) bulan ke depan sebesar
Rp4,792 triliun. Dana penyelamatan Bank Century dikeluarkan dari kocek Lembaga Penjamin
Pinjaman (LPS) yang bersumber dari pungutan premi perbankan. Biaya penyelamatan
dana talangan oleh LPS tadi diperhitungkan sebagai Penyertaan
Modal Sementara (PMS) LPS ke Bank Century yang berubah nama menjadi Bank
Mutiara. Dalam kurun waktu dua hingga tiga bulan ke depan LPS akan melego saham
Bank Mutiara ke calon investor. Jadi, di atas kertas dana talangan PMS sebesar Rp6,76
triliun tidaklah semuanya menguap bak angin lalu. PMS tersebut akan kembali,
tergantung besarnya hasil penjualan saham bank itu oleh LPS.
Langkah
KSSK menyelamatkan Bank Century pun sepenuhnya bukanlah karena ingin
menyelamatkan satu bank itu. Langkah ini hanya merupakan bagian dari upaya
besar yang ingin disasar, yakni menjaga stabilitas sektor keuangan dan
perbankan serta menyelamatkan perekonomian. Sementara kesan yang muncul di
publik adalah mengapa Pemerintah mesti mengorbankan dana triliunan untuk sebuah
bank yang dianggap tidak pantas diselamatkan. Dalam kondisi normal, kegagalan
Bank Century tidaklah termasuk bank sistemik dan tidak harus diselamatkan.
“Tapi dalam situasi krisis, bank sekecil apa pun potensial sekali menjadi sistemik,”
ujar Raden Pardede, mantan Sekretaris KSSK.
Menurut
kalkulasi A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti dilansir harian Kompas, 14
Desember 2009, ongkos jika Bank Century tak diselamatkan diperkirakan hanya Rp6
triliun. Lebih murah Rp600 miliar dibanding bail-out Bank Century. Angka itu
diperoleh dari perhitungan total dana pihak ketiga di Bank Century sebesar Rp9
triliun. Total dana nasabah yang dijamin LPS (Rp2 miliar per rekening) diperkirakan
mencapai Rp6 triliun. Sisanya (Rp3 triliun) tidak masuk skim penjaminan LPS.
Tapi, kata dia, itu baru memperhitungkan biaya langsung. Padahal ada biaya tak langsung.
Yang
dimaksud biaya tak langsung adalah ongkos kepanikan deposan yang memiliki dana
di atas Rp2 miliar yang tak dijamin LPS di 23 bank-bank (peers) setara Bank Century.
Aksi rush dana sangat mungkin terjadi. Bila hal itu terjadi diperkirakan akan
ada 23 bank yang akan ikut kolaps. Bila bank-bank itu ambruk, maka LPS mesti
mengganti dana nasabah. Sulit memastikan berapa besar biaya yang mesti
dikeluarkan kalau skenario menutup Bank Century terjadi. Tapi yang jelas, kata
Tony, ongkos tak langsung bila Bank Century tak diselamatkan akan lebih besar
dari Rp6,76 triliun.
Jadi?
“Menyelamatkan Bank Century dengan harga Rp6,76 triliun masih jauh lebih murah
daripada skim lainnya,” tandas Tony Prasetyantono. Menurut dia, membandingkan
biaya penyelamatan dengan nasi bungkus, biaya pemulihan gempa di Padang atau
lainnya tidak ada metodologinya. Tidak juga ilmiah dan sistematis. Semestinya,
yang menjadi pembanding adalah aset dan dana masyarakat di sektor perbankan
yang berhasil diamankan stabilitasnya. Dengan hanya Rp6,76 triliun, dana
masyarakat di seluruh bank di Indonesia yang mencapai Rp1.800 triliun dicegah kepanikan
dan kebangkrutan.
Hal
lain, kata Raden Pardede, yang mesti diperhitungan adalah biaya menyehatkan
bank-bank bila Bank Century tidak diselamatkan. Pada waktu melikuidasi 16 bank ada
Nopember 1997, ada ongkos yang menjadi beban APBN mencapai Rp600 triliun. Dana
sebesar itu dipakai untuk merekapitalisasi perbankan nasional agar terhindar dari
kebangkrutan. Hal itu belum lagi memperhitungkan ekses lain. Misalnya,
meningkatnya angka pengangguran dan merosotnya angka pertumbuhan ekonomi
nasional.
Pepatah
bijak mengatakan pengalaman (sejarah) adalah guru yang terbaik. Itu pula yang
menjadi pegangan Ben Bernanke ketika menyelamatkan (bail out) perbankan di AS
dengan dana talangan miliaran dolar AS. Ia tak mau mengulang kesalahan The Fed
di masa lalu—ketika menghadapi resesi tahun 1930-an— yang hanya berdiam diri
melihat perbankan pada tumbang dan perekonomian mengalami kebangkrutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar